Selamat Datang di Portal Yayasan Darul Fikri Nusantara

Ayat-ayat Al Quran tentang Sosial Masyarakat

Tidak salah jika Islam merupakan ajaran yang paling komprohensif, Islam sangat rinci mengatur kehidupan umatnya, melalui kitab suci al-Qur’an. Allah SWT memberikan petunjuk kepada umat manusia bagaimana menjadi insan kamil atau pemeluk agama Islam yang kafah atau sempurna.

Secara garis besar ajaran Islam bisa dikelompokkan dalam dua kategori yaitu Hablum Minallah (hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan) dan Hablum Minannas (hubungan manusia dengan manusia). Allah menghendaki kedua hubungan tersebut seimbang walaupun hablumminannas lebih banyak di tekankan. Namun itu semua bukan berarti lebih mementingkan urusan kemasyarakatan, namun hal itu tidak lain karena hablumminannas lebih komplek dan lebih komprehensif. Oleh karena itu suatu anggapan yang salah jika Islam dianggap sebagai agama transedental.

A. Surat al-Ra’du ayat 11 
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُوْ نَهُ مِنْ اَمْرِاللهِ إِنَّ اللهََ لاَيُغَيِّرُ مَابِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوْامَا بِأَنْفُسِهِمْ وَاِذَا أَرَادَاللهُ بِقَوْمٍ سُوْءًا فَلاَ مَرَدَّالَهُ وَمَالَهُمْ مِنْ دُوْنِهِ مِنْ وَّالٍ 

Artinya : Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, dimuka dan dibelakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah, sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Allah.

Ayat ini menerangkan tentang kedhaliman manusia. Dalam ayat ini juga dijelaskan bahwa kebangkitan dan keruntuhan suatu bangsa tergantung pada sikap dan tingkah laku mereka sendiri. Kedzaliman dalam ayat ini sebagai tanda rusaknya kemakmuran suatu bangsa.
لَهُ مُعَقِبَاتِ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْقِهِ يَحْفَظُوْ نَهُ مِنْ اَمْرِاللهِ 

Pada tiap manusia baik yang bersembunyi ataupun yang nampak ada malaikat yang terus menerus bergantian memelihara dari kemudharatan dan memperhatikan gerak gerik setiap manusia, sebagaimana berganti-ganti pula malaikat yang lain yang mencatat segala amalannya, baik maupun buruk. Ada malaikat malam dan ada malaikat siang, satu berada disebelah kiri yang mencatat segala amal kejahatan dan satu disebelah kanan yang mencatat segala amal kebajikan, dan dua malaikat bertugas memelihara dan mengawasi manusia. Adapun malaikat yang dimaksud dalam ayat ini adalah malaikat Hafadzah.[1]

Adapun keempat malaikat itu tidak akan terlepas dari kita, melainkan kita sedang dalam keadaan mempunyai hadats besar. Sebagaimana dalam sabda Rasul :
اِنَّ مَعَكُمْ مَنْ لاَيُقَارِقُكُمْ عِنْدَالْخَلاَءِ وَعِنْدَالْجِمَاعِ فَاسْتَحْيُوْهُمْ وَاَكْرَمَهُمْ. 

“Sesungguhnya ada malaikat-malaikat yang mengikuti kamu dan tidak terpisah dari kamu melainkan disaat-saat kamu membuang hajat besar atau bersetubuh, maka di segani dan hormatilah mereka.”[2]
إِنَّ اللهََ لاَيُغَيِّرُ مَابِقَوْمٍ حَتَّى لاَيُغَيِّرُمَا بِأَنْفُسِهِمْ 

Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum berupa nikmat dan kesehatan, lalu mencabutnya dari mereka sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Allah juga menyuruh kita (umat-Nya) untuk mengubah suatu kedzaliman karena jika kita tidak merubahnya, maka Allah akan memperluas siksaannya, sedangkan Allah menciptakan manusia di bumi ini untuk menjadi penguasa (khalifah) yang bertugas memakmurkan dan memanfaatkan segala isinya dengan baik bukan untuk merusaknya.[3]
وَاِذَا أَرَادَاللهُ بِقَوْمٍ سُوْءًا فَلاَ مُرَدَّالَهُ 

Kita tidak patut dan tidak boleh meminta kepada Allah agar keburukan segera didatangkan sebelum kebaikan atau siksaan sebelum pahala, karena jika Allah telah menghendaki dan menimpakannya kepada mereka, maka tidak ada seorangpun yang dapat menolak takdir-Nya.
وَمَالَهُمْ مِنْ دُوْنِهِ مِنْ وَّلٍ 

Tidak ada penolong bagi manusia seorangpun yang dapat mengendalikan urusan mereka, dan tidak ada seorangpun pula yang mampu mendatangkan kemanfataan atau menolak madharat selain Allah SWT. Sebagaimana dalam Firman-Nya Surat al-Hajj ayat 73:
يَاَيُّهَاالنَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوْالَهُ اِنَّ الَّذِيْنَ تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ لَنْ يَخْلُقُوْا ذُبَابًا وَّلَوِاجْتَمَعُوْلَهُ وَاِنْ يَسْلُبْهُمُ الدُّبَابُ شَيْئًا لاَيَسْتَنْقِذُهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوْبُ 

“Hai manusia, telah di buat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu, sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu, amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah pulalah yang disembah.”[4]


B. Surat al-Hujurat ayat 11-13 
يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْالاَيَسْخَرْقَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى اَنْ يَكُوْنُوْاخَيْرًامِنْهُمْ وَلاَنِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى اَنْ يَكُنَّ خَيْرًامِنْهُنَّ وَلاَتَلْمِزُوْااَنْفُسَكُمْ وَلاَتَنَابَزُوْا بِاْلاَلْقَابِ بِئْسَ الإِسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَاْلإِيْمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ () يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْااجْتَنِبُوْاكَثِيْرًامِنَ الظَّنِّ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَلاَتَجَسَّسُوْاوَلاَيَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَاءْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًافَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُواللهَ اِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ () يَاَيُّهَاالنَّاسُ اِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍوَاُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًاوَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا اِنْ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَاللهِ اَتْقَاكُمْ اِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ () 

(11). Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka yang yang diolok-olok lebih baik dari mereka yang mengolok-olok dan jangan pula wanita-wanita mengolok-olok wanita lain karena boleh jadi wanita-wanita yang diperolok-olok lebih baik dari wanita yang mengolok-olok dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk, seburuk-buruk panggilan yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim. (12). Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain, sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya, dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (13) Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seseorang laki-laki seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Dalam ayat ini Allah menjelaskan adab-adab (pekerti) yang harus berlaku diantara sesama mukmin, dan juga menjelaskan beberapa fakta yang menambah kukuhnya persatuan umat Islam, yaitu:

a. Menjauhkan diri dari berburuk sangka kepada yang lain.
b. Menahan diri dari memata-matai keaiban orang lain.
c. Menahan diri dari mencela dan menggunjing orang lain.

Dan dalam ayat ini juga, Allah menerangkan bahwa semua manusia dari satu keturunan, maka kita tidak selayaknya menghina saudaranya sendiri. Dan Allah juga menjelaskan bahwa dengan Allah menjadikan kita berbangsa-bangsa, bersuku-suku dan bergolong-golong tidak lain adalah agar kita saling kenal dan saling menolong sesamanya. Karena ketaqwaan, kesalehan dan kesempurnaan jiwa itulah bahan-bahan kelebihan seseorang atas yang lain.
يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْالاَيَسْخَرْقَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ 

Kita tidak boleh saling menghina diantara sesamanya. Ayat ini akan dijadikan oleh Allah sebagai peringatan dan nasehat agar kita bersopan santun dalam pergaulan hidup kaum yang beriman. Dengan hal ini berarti Allah melarang kita untuk mengolok-olok dan menghina orang lain, baik dengan cara membeberkan keaiban, dengan mengejek ataupun menghina dengan ucapan / isyarat, karena hal ini dapat menimbulkan kesalah-pahaman diantara kita.
عَسَى اَنْ يَكُوْنُوْاخَيْرًامِنْهُمْ 

Allah melarang kita menghina sesamanya karena boleh jadi orang yang dihina itu lebih baik dan lebih mulia disisi Allah kedudukannya dari pada yang menghina.
وَلاَنِسَاءُ مِنْ نِسَاءِ عَسَى اَنْ يَكُنَّ خَيْرًامِنْهُنَّ 

Orang yang kerjanya hanya mencari kesalahan dan kekhilafan orang lain, niscaya lupa akan kesalahan dan kekhilafan yang ada pada dirinya sendiri. Sebagaimana dalam sabda Nabi:
الكِبْرُ بَطْرُالْحَقِّ وَغَمْصُ النَاسِ 

“Kesombongan itu ialah menolak kebenaran dan memandang rendah manusia”.
وَلاَتَلْمِزُوْااَنْفُسَكُمْ 

Dalam penggalan ayat ini Allah melarang kita mencela orang lain karena mencela orang lain sama saja mencela diri sendiri, karena orang-orang mukmin itu bagaikan satu badan. firman Allah SWT yang menerangkan tentang balasan bagi orang yang suka mencela orang lain yaitu:
وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ 

“Neraka wailun hanya buat orang yang suka mencedera orang dan mencela orang”. (al-Humazah: 1)

Adapun dari arti
هُمَزَةٍ yaitu mencedera, yakni memukul dengan tangan, sedangkan لُمَزَةٍ yaitu mencela dengan mulut.[5]
وَلاَتَنَابَزُوْا بِاْلاَلْقَابِ 

Allah melarang kita memanggil orang lain dengan gelaran-gelaran yang mengandung ejekan-ejekan, karena hal ini termasuk menjelekkan seseorang dengan sesuatu yang telah diperbuatnya. Sedangkan orang yang dihina itu telah bertaubat, tapi jika gelaran (panggilan) itu mengandung pujian dan tepat pemakaiannya, maka itu tidak di benci sebagaimana gelar yang diberikan kepada Umar, yaitu:Al-Faruq.
بِئْسَ الإِسْمُ الْفُسُوْقَ بَعْدَاْلإِيْمَانِ 

Allah melarang kita memanggil orang dengan kata “fasik” setelah ia sebulan masuk Islam atau beriman.

Para ulama’ mengharamkan kita memanggil seseorang dengan sebutan yang tidak disukai.
وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ 

Ayat ini di turunkan mengenai “Shafiyah binti Hisyam Ibn Akhtab”, Beliau datang mengadu kepada Rasul bahwa isteri Rasul yang lain mengatakan kepadanya. Hai orang Yahudi, hai anak dari orang Yahudi, mendengar itu, Rasul berkata: mengapa kamu tidak menjawab: ayahku Harun, pamanku Musa, sedangkan suamiku Muhammad. Dalam ayat ini diterangkan bahwa orang yang sudah mengolok-olok bahkan menghina orang lain tapi tidak bertaubat, maka mereka termasuk orang dhalim.
يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْااجْتَنِبُوْاكَثِيْرًامِنَ الظَّنِّ 

Dalam ayat ini Allah melarang bahkan mengharamkan kita berprasangka buruk atau berfikiran negatif terhadap orang yang secara lahiriyah tampak baik dan memegang amanat, atau kita tidak boleh menfitnah seseorang, karena menfitnah itu bukan saja menyakiti seseorang dari lahirnya saja tapi juga menyakiti bathinnya.
اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمُ 

Allah melarang kita berburuk sangka terhadap orang lain karena sebagian dari buruk sangka itu dosa.

Prasangka adalah dosa, karena prasangka adalah tuduhan yang tidak beralasan dan bisa memutuskan silaturahmi di antara dua orang yang baik.

Dalam hal ini prasangka yang di larang adalah prasangka buruk yang dapat menimbulkan tuduhan kepada orang lain, sedangkan prasangka tentang perkiraan itu tidak di larang.

Sebagaimana terdapat dalam suatu hadits :
ثَلاَثٌ لَأَزِمَّاتٌ ِلأُمَتِّى : الطِبْرَةُ وَالْحَسَدُ وَسُوْءُالظَّنِّ 

“Tiga macam membawa krisis bagi umatku, yaitu memandang kesialan, dengki, dan buruk sangka”.[6]
وَلاَتَجَسَّسُوْ 

Allah melarang kita mencari-cari keaiban dan menyelidiki rahasia seseorang, tapi jika kita memata-matai seseorang atau musuh agar tidak terjadi kejahatan, maka itu di perbolehkan.
وَلاَيُغَيِّبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا 

Allah melarang mencela orang di belakangnya atau menggunjing tentang sesuatu yang tidak di sukainya.

Menurut para ulama’, mencela yang dibenarkan adalah jika bertujuan untuk :

a. Untuk mencari keadilan,
b. Untuk menghilangkan kemungkaran,
c. Untuk meminta fatwa atau mencari kebenaran,
d. Untuk mencegah manusia berbuat salah,
e. Untuk membeberkan orang yang tidak malu-malu melakukan kemaksiatan.
اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَاءْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًافَكَرِهْتُمُوْهُ 

Allah melarang kita membicarakan keburukan seseorang, karena hal itu sama halnya dengan makan bangkai saudaranya yang busuk. Allah melarang hal ini karena perbuatan ini merupakan penghancuran pribadi terhadap saudara yang di cela itu.
وَاتَّقُواللهَ اِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ 

Dalam ayat ini Allah menyuruh kita bertaubat dari kesalahan yang telah kita perbuat dengan di sertai penyesalan dan bertaubat (taubat an-nasukha). Dalam ayat ini Allah juga memberitahukan bahwasanya Allah senantiasa membuka pintu kasih sayangnya, membuka pintu selebar-lebarnya dan menerima kedatangan para hambanya yang ingin bertaubat supaya menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.
يَاَيُّهَاالنَّاسُ اِنَّا خَلَقْنَكُمْ مِنْ ذَكَرٍوَاُنْثَى 

Dalam ayat ini mengandung dua penafsiran, yaitu :
1.             Seluruh manusia diciptakan pada mulanya dari seorang laki-laki, yaitu Adam dan dari seorang perempuan, yaitu Hawa. 
2.             Segala manusia sejak dulu sampai sekarang terjadi dari seorang laki-laki dan perempuan. 

وَجَعَلْنَكُمْ شُعُوْبًاوَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا 

Allah menjadikan manusia dari berbagai macam suku dan bangsa agar kita saling mengenal. Ayat ini merupakan dasar demokrasi yang benar di dalam Islam, dengan menghilangkan kasta dan perbedaan.
اِنْ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَاللهِ اَتْقَاكُمْ 

Semua manusia di sisi Allah SWT itu sama, yang membedakan hanyalah ketaqwaannya.

Taqwa adalah suatu prinsip umum yang mencakup takut kepada Allah dan mengerjakan apa yang diridhoinya yang melengkapi kebaikan dunia dan akhirat. Kemuliaan hati yang di anggap bernilai adalah kemuliaan hati, budi, perangai, dan ketaatan pada Allah.
اِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ 

Bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu baik yang tampak ataupun tersembunyi. Dan bahwa Allah adalah sebaik-baiknya Sang Pencipta.

Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
1.             Setiap manusia itu di jaga oleh 4 malaikat hafadhah dan bahwasanya Allah adalah sebaik-baik penolong bagi kita. 
2.             Dalam hidup bermasyarakat tidak boleh saling membedakan karena semua sama, tak ada yang beda disisi Allah melainkan ketaqwaannya. 
3.             Setiap manusia itu pasti punya kesalahan dan Allah maha penerima taubat hambanya sebelum sakaratul maut. 
4.             Allah tidak akan merubah suatu kaum kecuali dia merubahnya dan Allah menyuruh kita untuk memberantas kedzaliman. 

DAFTAR PUSTAKA 

Ahmad Mustofa al Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, CV Toha Putra, Semarang, 1988.

H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1988.

H. Mukti Ali, Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT Bumi Restu, Jakarta, 1974.

Prof. H. Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir al-Ashhar, Yayasan Nurul islam, Surabaya, 1982

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur, PT Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2000.





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam adalah agama samawi terakhir yang dirisalahkan melalui Rasulullah SAW. Karena Islam sebagai agama terakhir dan juga sebagai penyempurna ajaran-ajaran terdahulu, maka sangat bisa dipahami, jika Islam merupakan ajaran yang paling komprohensif, Islam sangat rinci mengatur kehidupan umatnya, melalui kitab suci al-Qur’an. Allah SWT memberikan petunjuk kepada umat manusia bagaimana menjadi insan kamil atau pemeluk agama Islam yang kafah atau sempurna.
Secara garis besar ajaran Islam bisa dikelompokkan dalam dua kategori yaitu Hablum Minallah (hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan) dan Hablum Minannas (hubungan manusia dengan manusia). Allah menghendaki kedua hubungan tersebut seimbang walaupun hablumminannas lebih banyak di tekankan. Namun itu semua bukan berarti lebih mementingkan urusan kemasyarakatan, namun hal itu tidak lain karena hablumminannas lebih komplek dan lebih komprehensif. Oleh karena itu suatu anggapan yang salah jika Islam dianggap sebagai agama transedental.

B. Rumusan  Masalah
     1.  Bagaimana pengertian Masyarakat Menurut Al-Qur’an?
     2. Adakah Ayat-ayat Al-Qur’an Tentang Masyarakat?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Masyarakat Menurut Al-Qur’an
Istilah masayarakat dapat dilihat dari adanya berbagai istilah lain yang dapat dihubungkan dengan konsep pembinaan masyarakat, seperti istilah ummatqaumsyu’ubqabail dan lain sebagainya. Istilah ummat dapat dijumpai pada ayat yang berbunyi :

öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_̍÷zé& Ä¨$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ šcöqyg÷Ys?ur Ç`tã Ìx6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur šÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #ZŽöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB šcqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçŽsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ  
110. kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
(QS. Ali Imran : 110)
Kata ummah pada ayat tersebut, berasal dari kata ammayaummu yang berarti jalan dan maksud. Dari asal kata tersebut, dapat diketahui bahwa masyarakat adalah kumpulan perorangan yang memiliki keyakinan dan tujuan yang sama, menghimpun diri secara harmonis dengan maksud dan tujuan bersama.
Selanjutnya dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an, masyarakat diartikan sebagai semua kelompok yang dihimpun oleh persamaan agama, waktu, tempat baik secara terpaksa maupun kehendak sendiri. Inti dari pendapat- pendapat tersebut, adalah bahwa masyarakat tempat berkumpulnya manusia yang didalamnya terdapat sistem hubungan, aturan serta pola- pola hubungan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.


B.     Tafsir Ayat-ayat Al-Qur’an Tentang Masyarakat
1. Surat Al-Hujurat Ayat 11-12
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw öyó¡o ×Pöqs% `ÏiB BQöqs% #Ó|¤tã br& (#qçRqä3tƒ #ZŽöyz öNåk÷]ÏiB Ÿwur Öä!$|¡ÎS `ÏiB >ä!$|¡ÎpS #Ó|¤tã br& £`ä3tƒ #ZŽöyz £`åk÷]ÏiB ( Ÿwur (#ÿrâÏJù=s? ö/ä3|¡àÿRr& Ÿwur (#rât/$uZs? É=»s)ø9F{$$Î/ ( }§ø©Î/ ãLôœew$# ä-qÝ¡àÿø9$# y÷èt/ ÇyM}$# 4 `tBur öN©9 ó=çGtƒ y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqçHÍ©à9$# ÇÊÊÈ   $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qç7Ï^tGô_$# #ZŽÏWx. z`ÏiB Çd`©à9$# žcÎ) uÙ÷èt/ Çd`©à9$# ÒOøOÎ) ( Ÿwur (#qÝ¡¡¡pgrB Ÿwur =tGøótƒ Nä3àÒ÷è­/ $³Ò÷èt/ 4 =Ïtär& óOà2ßtnr& br& Ÿ@à2ù'tƒ zNóss9 ÏÅzr& $\GøŠtB çnqßJçF÷d̍s3sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# Ò>#§qs? ×Ïm§ ÇÊËÈ  
11. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[1]dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman[2] dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.
12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Dalam ayat ini Allah menjelaskan adab-adab (pekerti) yang harus berlaku diantara sesama mukmin, dan juga menjelaskan beberapa fakta yang menambah kukuhnya persatuan umat Islam, yaitu:  a. Menjauhkan diri dari berburuk sangka kepada yang lain.
b. Menahan diri dari memata-matai keaiban orang lain.
c. Menahan diri dari mencela dan menggunjing orang lain.
Dan dalam ayat ini juga, Allah menerangkan bahwa semua manusia dari satu keturunan, maka kita tidak selayaknya menghina saudaranya sendiri. Dan Allah juga menjelaskan bahwa dengan Allah menjadikan kita berbangsa-bangsa, bersuku-suku dan bergolong-golong tidak lain adalah agar kita saling kenal dan saling menolong sesamanya. Karena ketaqwaan, kesalehan dan kesempurnaan jiwa itulah bahan-bahan kelebihan seseorang atas yang lain.
يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْالاَيَسْخَرْقَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ
Kita tidak boleh saling menghina diantara sesamanya. Ayat ini akan dijadikan oleh Allah sebagai peringatan dan nasehat agar kita bersopan santun dalam pergaulan hidup kaum yang beriman. Dengan hal ini berarti Allah melarang kita untuk mengolok-olok dan menghina orang lain, baik dengan cara membeberkan keaiban, dengan mengejek ataupun menghina dengan ucapan / isyarat, karena hal ini dapat menimbulkan kesalah-pahaman diantara kita.
عَسَى اَنْ يَكُوْنُوْاخَيْرًامِنْهُمْ
Allah melarang kita menghina sesamanya karena boleh jadi orang yang dihina itu lebih baik dan lebih mulia disisi Allah kedudukannya dari pada yang menghina.
وَلاَنِسَاءُ مِنْ نِسَاءِ عَسَى اَنْ يَكُنَّ خَيْرًامِنْهُنَّ
Orang yang kerjanya hanya mencari kesalahan dan kekhilafan orang lain, niscaya lupa akan kesalahan dan kekhilafan yang ada pada dirinya sendiri. Sebagaimana dalam sabda Nabi:
الكِبْرُ بَطْرُالْحَقِّ وَغَمْصُ النَاسِ
“Kesombongan itu ialah menolak kebenaran dan memandang rendah manusia”.
وَلاَتَلْمِزُوْااَنْفُسَكُمْ
Dalam penggalan ayat ini Allah melarang kita mencela orang lain karena mencela orang lain sama saja mencela diri sendiri, karena orang-orang mukmin itu bagaikan satu badan. firman Allah SWT yang menerangkan tentang balasan bagi orang yang suka mencela orang lain yaitu:
وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ
“Neraka wailun hanya buat orang yang suka mencedera orang dan mencela orang”. (al-Humazah: 1)
Adapun dari arti هُمَزَةٍ yaitu mencedera, yakni memukul dengan tangan, sedangkan لُمَزَةٍ yaitu mencela dengan mulut.[3]
وَلاَتَنَابَزُوْا بِاْلاَلْقَابِ
Allah melarang kita memanggil orang lain dengan gelaran-gelaran yang mengandung ejekan-ejekan, karena hal ini termasuk menjelekkan seseorang dengan sesuatu yang telah diperbuatnya. Sedangkan orang yang dihina itu telah bertaubat, tapi jika gelaran (panggilan) itu mengandung pujian dan tepat pemakaiannya, maka itu tidak di benci sebagaimana gelar yang diberikan kepada Umar, yaitu:Al-Faruq.
بِئْسَ الإِسْمُ الْفُسُوْقَ بَعْدَاْلإِيْمَانِ
Allah melarang kita memanggil orang dengan kata “fasik” setelah ia sebulan masuk Islam atau beriman.
Para ulama’ mengharamkan kita memanggil seseorang dengan sebutan yang tidak di sukai.
وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ
Ayat ini di turunkan mengenai “Shafiyah binti Hisyam Ibn Akhtab”, Beliau datang mengadu kepada Rasul bahwa isteri Rasul yang lain mengatakan kepadanya. Hai orang Yahudi, hai anak dari orang Yahudi, mendengar itu, Rasul berkata: mengapa kamu tidak menjawab: ayahku Harun, pamanku Musa, sedangkan suamiku Muhammad. Dalam ayat ini diterangkan bahwa orang yang sudah mengolok-olok bahkan menghina orang lain tapi tidak bertaubat, maka mereka termasuk orang dholim.
يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْااجْتَنِبُوْاكَثِيْرًامِنَ الظَّنِّ
Dalam ayat ini Allah melarang bahkan mengharamkan kita berprasangka buruk atau berfikiran negatif terhadap orang yang secara lahiriyah tampak baik dan memegang amanat, atau kita tidak boleh menfitnah seseorang, karena menfitnah itu bukan saja menyakiti seseorang dari lahirnya saja tapi juga menyakiti bathinnya.
اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمُ
Allah melarang kita berburuk sangka terhadap orang lain karena sebagian dari buruk sangka itu dosa.
Prasangka adalah dosa, karena prasangka adalah tuduhan yang tidak beralasan dan bisa memutuskan silaturahmi di antara dua orang yang baik.
وَلاَتَجَسَّسُوْ
Allah melarang kita mencari-cari keaiban dan menyelidiki rahasia seseorang, tapi jika kita memata-matai seseorang atau musuh agar tidak terjadi kejahatan, maka itu di perbolehkan.
وَلاَيُغَيِّبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
Allah melarang mencela orang di belakangnya atau menggunjing tentang sesuatu yang tidak di sukainya.
Menurut para ulama’, mencela yang dibenarkan adalah jika bertujuan untuk :
a. Untuk mencari keadilan,
b. Untuk menghilangkan kemungkaran,
c. Untuk meminta fatwa atau mencari kebenaran,
d. Untuk mencegah manusia berbuat salah,
e. Untuk membeberkan orang yang tidak malu-malu melakukan kemaksiatan.
اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَاءْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًافَكَرِهْتُمُوْهُ
Allah melarang kita membicarakan keburukan seseorang, karena hal itu sama halnya dengan makan bangkai saudaranya yang busuk. Allah melarang hal ini karena perbuatan ini merupakan penghancuran pribadi terhadap saudara yang di cela itu.
وَاتَّقُواللهَ اِنَّ الهَ تَوَّابٌ 
Dalam ayat ini Allah menyuruh kita bertaubat dari kesalahan yang telah kita perbuat dengan di sertai penyesalan dan bertaubat (taubat an-nasukha). Dalam ayat ini Allah juga memberitahukan bahwasanya Allah senantiasa membuka pintu kasih sayangnya, membuka pintu selebar-lebarnya dan menerima kedatangan para hambanya yang ingin bertaubat supaya menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.
2. Surat Ar Ra’d Ayat 11

¼çms9 ×M»t7Ée)yèãB .`ÏiB Èû÷üt/ Ïm÷ƒytƒ ô`ÏBur ¾ÏmÏÿù=yz ¼çmtRqÝàxÿøts ô`ÏB ÌøBr& «!$# 3 žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sŒÎ)ur yŠ#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß Ÿxsù ¨ŠttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrߊ `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ  
11. bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.[4] Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan [5]yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
Ayat ini menerangkan tentang kedhaliman manusia. Dalam ayat ini juga dijelaskan bahwa kebangkitan dan keruntuhan suatu bangsa tergantung pada sikap dan tingkah laku mereka sendiri. Kedzaliman dalam ayat ini sebagai tanda rusaknya kemakmuran suatu bangsa.
لَهُ مُعَقِبَاتِ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْقِهِ يَحْفَظُوْ نَهُ مِنْ اَمْرِاللهِ
Pada tiap manusia baik yang bersembunyi ataupun yang nampak ada malaikat yang terus menerus bergantian memelihara dari kemudharatan dan memperhatikan gerak gerik setiap manusia, sebagaimana berganti-ganti pula malaikat yang lain yang mencatat segala amalannya, baik maupun buruk. Ada malaikat malam dan ada malaikat siang, satu berada disebelah kiri yang mencatat segala amal kejahatan dan satu disebelah kanan yang mencatat segala amal kebajikan, dan dua malaikat bertugas memelihara dan mengawasi manusia. Adapun malaikat yang dimaksud dalam ayat ini adalah malaikat Hafadzah.[6]
إِنَّ اللهََ لاَيُغَيِّرُ مَابِقَوْمٍ حَتَّى لاَيُغَيِّرُمَا بِأَنْفُسِهِمْ
Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum berupa nikmat dan kesehatan, lalu mencabutnya dari mereka sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Allah juga menyuruh kita (umat-Nya) untuk mengubah suatu kedzaliman karena jika kita tidak merubahnya, maka Allah akan memperluas siksaannya, sedangkan Allah menciptakan manusia di bumi ini untuk menjadi penguasa (khalifah) yang bertugas memakmurkan dan memanfaatkan segala isinya dengan baik bukan untuk merusaknya.[7]
وَاِذَا أَرَادَاللهُ بِقَوْمٍ سُوْءًا فَلاَ مُرَدَّالَهُ
Kita tidak patut dan tidak boleh meminta kepada Allah agar keburukan segera didatangkan sebelum kebaikan atau siksaan sebelum pahala, karena jika Allah telah menghendaki dan menimpakannya kepada mereka, maka tidak ada seorangpun yang dapat menolak takdir-Nya.
وَمَالَهُمْ مِنْ دُوْنِهِ مِنْ وَّلٍ
Tidak ada penolong bagi manusia seorangpun yang dapat mengendalikan urusan mereka, dan tidak ada seorangpun pula yang mampu mendatangkan kemanfataan atau menolak madharat selain Allah SWT.
3. Surat Al Anfaal Ayat 53
y7ÏsŒ  cr'Î/ ©!$# öNs9 à7tƒ #ZŽÉitóãB ºpyJ÷èÏoR $ygyJyè÷Rr& 4n?tã BQöqs% 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/   žcr&ur ©!$# ììÏJy ÒÎ=tæ ÇÎÌÈ  
53. (siksaan) yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri,[8] dan Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.[9]
Dalam tafsir al-Mishbah Surat Al anfal ayat 53
Apa yang dialami oleh orang-orang kafir itu penyebabnya dijelaskan oleh ayat ini. Demikian kesimpulan hubungan yang dikemukakan oleh sekian pakar. Al-Biqo’i yang dikenal sebagai mufassir yang memberi perhatian yang sangat besar tentang hubungan antar ayat dan surah Al Quran, menghubungkan ayat ini dengan ayat yang lalu, melalui suatu pertanyaan yang dilukiskan muncul akibat uraian ayat-ayat yang lalu. Yaitu kalau memang Allah mengetahui bahwa mereka pasti berdosa maka mengapa Allah tidak segera saja mereka?, mengapa Allah memberi mereka peluang untuk mengganggu orang-orang yang dekat kepadanya?
Nah, ayat ini menurut  Al Biqa’i menjawab pertanyaan itu yakni bahwa yang demikian yakni siksaan baik menyangkut waktu, kadar maupun jenisnya ditetapkan Allah berdasarkan perbuatan mereka mengubah diri mereka. Sebenarnya Allah dapat menyiksa mereka berdasar pengetahuannya tentang isi hati mereka. Yakni sebelum mereka melahirkannya dalam bentuk perbuatan yang nyata, tetapi Allah tidak melakukan itu karena sunnah dan ketetapannya.
Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah suatu nikmat sedikit atau besar yang telah dianugerahnya kepada suatu kaum, tidak juga sebaliknya mengubah kesengsaraan yang dialami oleh suatu kaum menjadi kebahagiaan hingga kaum itu sendiri terlebih dahulu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, yakni untuk memperoleh nikmat tambahan mereka harus lebih baik, sedangkan perolehan siksaan adalah akibat mengubah fitrah kesucian mereka menjadi keburukan dan kedurhakaan dan sesungguhnya Allah Maha mendengar apapun yang disuarakan mahkluk lagi maha mengetahui apapun sikap dan tingkah laku mereka.

3.    Surat Al-Baqarah Ayat 139
ö@è% $oYtRq_!$ysè?r& Îû «!$# uqèdur $uZš/u öNà6š/uur !$oYs9ur $oYèyJôãr& öNä3s9ur öNä3èyJôãr& ß`øtwUur ¼çms9 tbqÝÁÎ=øƒèC ÇÊÌÒÈ  
139. Katakanlah: "Apakah kamu memperdebatkan dengan Kami tentang Allah, Padahal Dia adalah Tuhan Kami dan Tuhan kamu; bagi Kami amalan Kami, dan bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya Kami mengikhlaskan hati,
1). Defenisi Tuhan dalam al-Qur’an sangat jelas, sejelas apa yang difahami oleh akal dan ditulis di dalam Kitab-Kitab Suci samawi sebelumnya. Maka siapa saja yang melakukan perenungan yang mendalam tentang hakikat Tuhan niscaya akan sampai kepada kesimpulan yang sama. Tuhan adalah puncak kesempurnaan segala kebaikan. Pilihlah salah satu kebaikan atau sifat positif apa saja, pasti juga ada pada Tuhan, dalam bentuknya yang sempurna. Dan kalau semua kebaikan-kebaikan atau sifat-sifat positif itu berkumpul di dalam DIRI Tuhan, maka semuanya akan menyatu tak terpisahkan—seperti berkas-berkas sinar yang kembali ke sumber cahayanya—lalu membentuk satu terma yang melingkupi semuanya. Dalam Bahasa Arab—dan juga masih digunakan di dalam Agama Nashrani—terma itu bernama: ALLAH (artinya: Yang pantas disembah). Dengan demikian, secara definisi, Tuhan tidak perlu diperdebatkan. Pernyataan Allah di ayat ini sangat kuat: وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ (wa ɦuwa rabbunā wa rabbu kum, dan Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kalian). Perhatikanlah betapa Allah sendiri sama sekali tidak bermaksud mengeluarkan hamba-hamba-Nya dari wilayah ke-Tuhanan-Nya. Sehingga, betapapun seseorang menentang eksistensi-Nya, namun dia sungguh tidak akan bisa mengeluarkan dirinya dari wilayah ke-Tuhanan-Nya. Simaklah dialog Nabi Musa dan Fir’aun di ayat-ayat berikut ini. “Fir’aun bertanya: ‘Siapa Tuhan semesta alam itu?’ Musa menjawab: ‘Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya; (itulah Tuhanmu), jika kalian meyakini-Nya’. Berkata Fir’aun kepada orang-orang sekelilingnya: ‘Apakah kalian tidak mendengarkan?’ Musa berkata (lagi): ‘Tuhan kalian dan Tuhan nenek-nenek moyang kalian yang dahulu’. Fir’aun berkata: ‘Sesungguhnya Rasulmu yang diutus kepada kalian benar-benar orang gila’. Musa meneruskan: ‘Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah Tuhanmu) jika kalian mempergunakan akal’.” (26:23-28)
2). Kendati tak seorang pun yang kuasa mengeluarkan dirinya dari wilayah ke-Tuhanan-Nya, namun bukan berarti Tuhan membelenggu mereka di dalam satu pilihan. Allah memberi manusia pilihan-pilihan. Dan setiap orang diberi kebebasan untuk menganut pilihannya masing-masing, dengan catatan, juga masing-masing bertanggungjawab atas pilihan tersebut. Maka beramallah menurut keyakinan masing-masing. Saling menghormatilah di dalam pengamalan tersebut sebagaimana Allah sendiri menghormatinya. Toh setiap orang bertanggungjawab kelak di hadapan-Nya atas amalan-amalan tersebut. Prinsip ini bukan hanya berlaku di dalam lintas agama, tetapi juga di antara sekte-sekte atau mazhab-mazhab di dalam satu agama yang sama. Di sinilah al-Qur’an memperlihatkan nilai kemuliannya. Betapa tidak, di ayat sebelumnya (138), Allah menekankan bahwa hanya ada satu صِبْغَةَ (shibghah) yang benar, yaitu صِبْغَةَ اللّهِ (shibghah Allah), karena hanya inilah yang sejalan dengan فِطْرَة (fithrah) manusia. Tetapi di ayat ini (139), Allah menekankan bahwa kendati hanya ada satu صِبْغَةَ (shibghah) yang benar, namun tetaplah manusia diperintah untuk saling menghargai. Terhadap perbedaan keyakinan, Allah menyuruh kita mengatakan:  لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ(lanā a’māluna wa lakum a’mālukum, bagi kami amalan kami, bagi kalian amalan kalian). Luar biasa. Kalau semua pihak—paling tidak di internal umat Islam sendiri—menghayati ayat ini dengan sebaik-baiknya, yakinlah hidup ini menjadi harmonis, seharmonis kemajemukan bunga-bunga di dalam taman yang indah.  “Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: ‘Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kalian. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kalian. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kalian amal-amal kalian. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kalian, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah (kita akan) kembali’.” (42:15)
3). Itulah prinsip toleransi yang benar. Toleransi yang sehat bukanlah berangkat dari kepercayaan bahwa semua agama dan keyakinan yang berbeda itu sama dan semuanya benar. Sebaliknya, toleransi yang rasional adalah yang bertolak dari kepercayaan bahwa hanya ada satu yang benar, yaitu yang kita yakini. Kemudian bersungguh-sungguh menghormati keyakinan orang atau pihak lain. Dalam pengertian, memberi ruang yang seluas-luasnya kepada orang atau pihak tersebut untuk mengelaborasi dan mengejawantahkan keyakinannya. Dengan cara begini kita bukan berarti membenarkan keyakinannya, tapi mengakui dan menjunjung tinggi hak mereka untuk berkeyakinan seperti itu—walaupun menurut kita salah. Toleransi macam ini menumbuhkan kepercayaan diri yang tinggi dan menghilangkan anomali-anomali. Toleransi macam inilah yang akan menumbuhsuburkan argumentasi-argumentasi, dan bukan agitasi-agitasi. Toleransi harus mendorong semangat manusia untuk terus mencari kebenaran, karena semangat pencarian kebenaran itulah yang membuat manusia mengembangkan kebudayaan dan peradabannya dari waktu ke waktu. Toleransi bukanlah permisifme relijius, tapi toleransi adalah dinamisme sosial. “Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Dan kalian (pun) bukanlah penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah. Dan kalian tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku’.” (109:1-6)
4). Setelah berbicara tentang adanya kebenaran tunggal yang disebut صِبْغَةَ اللّهِ (shibghah Allah), ayat 138 ditutup dengan pernyataan: وَنَحْنُ لَهُ عَابِدونَ (wa nahnu laɦu ‘ābidŭn, dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah). Kemudian setelah berbicara mengenai Allah sebagai Tuhan bersama dan Pusat pertanggungjawaban amal menurut keyakinan masing-masing, ayat 139 ini ditutup dengan pernyataan: وَنَحْنُ لَهُ مُخْلِصُونَ (wa nahnu laɦu mukhlishŭn, dan kami ikhlas kepada-Nya). Allah seakan hendak mengesankan bahwa Tuhan itu bukan sebagai ornamen peribadatan belaka. Tuhan bukan hanya salah satu variabel dalam beragama. Tuhan tak cukup ditempatkan di puncak menara-menara untuk kemudian kita seru-seru. Tapi Tuhan harus dituju dalam peribadatan dan keberagamaan itu. Dituju dalam pengertian “sebagai sasaran gerak: gerak intelektual, gerak spiritual, dan gerak sosial”. Jika ketiga gerak ini (intelektual, spiritual, sosial) mencapai Dia, maka ketiganya pun menyatu dan melebur ke dalam Diri-Nya, sehingga yang ada hanya Dia. Makanya, seluruh tujuan-tujuan sekunder (apalagi tujuan semu) itu harus disingkirkan. IKHLASH. “Katakanlah: ‘Tuhanku menyuruh menegakkan keadilan’. Dan (katakan pula): ‘Luruskanlah wajah (jiwa) kalian di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agamamu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kalian pada permulaan (demikian pulalah) kalian akan kembali kepadaNya’.” (7:29)


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Setelah kami paparkan uraian makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa di dalam alqur’an sudah sangat jelas memberikan gambaran kepada kita bahwa pendidikan dapat merubah kehidupan sosial masyarakat, pendidikan tersebut harus berawal dari diri manusia itu sendiri (Surat Al-Anfaal ayat 53).
Perubahan sosial bisa terjadi jika masyarakat itu terdidik. Melalui pendidikan manusia dapat belajar menjalani kehidupan dengan benar dan baik. Melalui pendidikan manusia dapat membentuk kepribadiannya. Islam menempatkan pendidikan sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan umat manusia. Banyak ayat Al-Qur’an yang mengharuskan umat Islam untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Secara teoritis, Ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia tidak mungkin dimilikinya tanpa melalui proses pendidikan.
Dengan pendidikan manusia dapat menata kehidupan secara pribadi, maupun sosialnya. Seperti yang digambarkan Allah dalam surat Muhammad ayat 38 menerangkan bahwa kita disuruh untuk menafkahkan hartanya dijalan Allah. Bagi orang yang awwam dan tak berpendidikan agama maka akan berpendapat bahwa untuk apa kita harus memberikan sebagian harta kita untuk orang lain, yang harta tersebut adalah hasil dari usaha kita sendiri. Namun ini sangat berbeda ketika orang tersebut berpendidikan, pasti ada sisi sifat afektif terhadap sesama yang muncul pada dirinya,yaitu sifat kasih sayang dan mau berbagi sesama. Dan ketika itu terjadi dalam masyarakat, dapat kita bayangkan bagaimana kehidupan di masyarakat itu, apakah masyarakat itu tidak akan berubah baik secara culture maupun secara kebiasaan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

B.     Saran
Manusia adalah homo socialis yang dalam kehidupannya mutlak membutuhkan peran dari manusia lainnya. Dalam kehidupan bermasyarakat, agama Islam telah mengaturnya dengan sebaik mungkin. Oleh karena itu, kita selaku umt Islam, harus benar-benar mengaplikasikan ajaran-ajaran dari Al-Qur’an, khususnya mengenai kehidupan bermasyarakat.



DAFTAR PUSTAKA
Al- Maraghi, Ahmad Mustofa. Terjemah tafsir al-Maraghi, juz XIII. Semarang:Toha Putra. 1988.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi.  Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur 5 (surat 42-114). Semarang: PT Pustaka Rizki Putra. 2000.
Prof. H. Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir al-Ashhar, Surabaya:Yayasan Nurul Islam.1982.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al Mishbah. Jakarta: Lentera Hati: 2002.
Terjemahan dari Al Quran Word
















AYAT-AYAT TENTANG MASYARAKAT

Al-HUJURAT
(kamar-kamar)
Ayat 11-12
 (larangan memperolok-olok, banyak prasangka dll)
يأ يهاالذين امنوالايسخر قوم من قوم عسى أن يكونواخيرامنهم ولانساءمن نساء عسى أن يكن خيرامنهن  ولاتلمزوا أنفسكم ولاتنا بزوا با لألقاب  بئسى الاسم الفسوق بعدالايمان  ومن لم يتب فأولئك هم الظلمون.            
يأ يهاالذينءامنواجتنبوا كثيرامن الظن إن بعضى الظن إثم  ولاتجسسوا ولايغتب بعضكم بعضا  أيحب أحدكم أن يأ كل لحم أخيه ميتا فكرهتموه  واتقوا الله  إن الله تواب رحيم.                                                 

Artinya :
11. Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum memperolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang memperolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman. Dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

Ayat 13 (Manusia diciptakan berbagai bangsa untuk kenal-mengenal)
يأ يها الناس إناخلقنكم من ذكروأنثى وجعلنكم شعوباوقبائل لتعارفوا        إن أكرمكم عند الله أتقكم  إن الله عليهم خبير.                                 
Artinya :
13. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha mengenal.
Penafsiran Kata-kata Sulit ayat 11 :
السخر ية        : mengolok-olok, menyebut-nyebut aib dan kekurangan-kekurangan orang lain dengan cara yang menimbulkan tawa.
القوم              : Telah umum diartikan orang-orang lelaki, bukan orang-orang perempuan, sebagaimana pada ayat ini juga, sebagaimana dikatakan oleh Zuhair :
 
وما ادرىوسوف اخال ادرى :                                               
اقوم ال حصن ام نساء                      
“Aku tidak tahu, tetapi nanti aku pasti tahu juga. Apakah laki-laki keluaga Hishn itu atau perempuan”.
ولاتلمز وا انفسكم : Janganlah kamu mencela dirimu sendiri. Maksudnya jangan sebagian kamu mencela sebagian yang lain dengan perkataan atau isyarat tangan, mata atau semisalnya. Karena orang-orang mukmin adalah seperti satu jiwa. Maka apabila seorang mukmin mencela orang mukmin lainnya, maka seolah-olah mencela dirinya sendiri.
التنا بز: Saling mengejek dan panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang tidak disukai oleh seseorang.

 
الاسم : Nama dan kemasyhuran. Seperti orang mengatakan “tara ismuhu baina nasi bil karami wal lu’mi”, namanya terkenal dikalangan orang banyak baik karena kedermawannya atau kejelekkannya.

Pengertian Secara Umum
Setelah Allah SWT. menyebutkan apa yang patut dilakukan oleh seorang mukmin terhadap Allah Ta’ala maupun terhadap Nabi SAW dan terhadap orang yang tidak mematuhi Allah dan Nabi-Nya serta bermaksiat kepada-Nya, yaitu orang fasik, maka Allah menerangkan pula apa yang patut dilakukan oleh seorang mukmin terhadap orang mukmin lainnya. Allah menyebutkan bahwa tidak sepatutnya seorang mukmin mengolok-olok orang mukmin lainnya atau mengejeknya dengan celaan atau pun hinaan, dan tidak patut pula memberinya gelar yang menyakitkan hati. Alangkah buruknya perbuatan seperti itu.
Dan barang siapa yang tidak bertaubat setelah ia melakukan perbuatan seperti itu, maka berarti ia berbuat buruk terhadap dirinya sendiri dan melakukan dosa besar.
Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan, bahwa ada seorang laki-laki yang mempunyai dua atau tiga nama. Dia dipanggil dengan nama tertentu agar orang itu tidak senang dengan panggilan itu. 
(HR. Dalam Kitab Sunan Empat dari Abi Jubair Ibnu Dhahak. Menurut Imam Tirmidzi, hadis ini hasan).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa nama-nama gelaran zaman jahiliyah sangat banyak, ketika Nabi SAW memanggil seseorang dengan gelarnya, ada orang yang memberitahukan kepada Nabi bahwa gelar itu tidak disukainya. Maka turunlah ayat 11 ini yang melarang memanggil orang dengan gelar yang tidak disukainya.
(HR. Al-Hakim dan lainnya dari Abi Jubair Ibnu Dhahak)

Penafsiran Kata-kata Sulit Ayat 12:
اجتنبوا     : Jauhilah oleh kalian. Ijtanibu aslinya Ijtanabtuhu berarti, saya berada ditepi dari sesuatu itu. Kemudian digunakan secara luas untuk arti menjauhi yang lazim dilakukan terhadap sesuatu itu.
الاثم       : dosa 
التجسسى   : memata-matai. Yaitu mencari keburukkan-keburukkan dan cacat-cacat serta membuka-buka hal yang ditutupi oleh orang.
 
الغيبة   : menyebut-nyebut seseorang tentang hal-hal yang tidak ia sukai, tidak sepengetahuan dia.

Pengertian Secara Umum
Allah SWT. mendidik hamba-hambaNya yang mukmin dengan kesopanan-kesopanan, yang jika mereka berpegang teguh, maka akan langgenglah rasa cinta dan persatuan sesame mereka. Diantaranya adalah kesopanan yang tersebut sebelum ayat ini, dan diantaranya lagi yang Allah sebutkan disini, yaitu perkara-perkara besar yang menambah semakin kuatnya hubungan dalam masyarakat Islam, yaitu :
1.    Menghindari purbasangka yang buruk terhadap sesama mnusia dan menuduh mereka berkhianat pada apapun yang mereka ucapkan dan yang mereka lakukan. Karena sebagian dari purbasangka dan tuduhan tersebut kadang-kadang merupakan dosa semata-mata.
2.    Jangan mencari-cari keburukkan dan aib orang lain.
3.    Jangan sebagian mereka menyebut sebagian yang lain dengan hal-hal yang tidak mereka sukai tanpa sepengetahuan mereka. Syar’i telah mengumpamakan orang yang melakukan gibah (penggunjingan) sebagai orang yang memakan daging bangkai saudaranya karena kejinya perbuatan seperti itu.

Asbabun Nuzul 
Dalam suatu riwayat dikemukakan, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Salman Al-Farisi. Apabila selesai makan, dia segera tidur dan mendengkur. Pada waktu itu ada yang mempergunjingkan perbuatannya itu. Maka turunlah ayat 12 ini, yang melarang seseorang mengumpat dan menceritakan aib orang lain.
(HR. Ibnu Muadzir dari Ibnu Juraij)

Penafsiran Kata-kata Sulit Ayat 13:
من ذ كروانثى : dari seseorang laki-laki dan seorang perempuan. Maksudnya dari Adam dan Hawa, Ishaq Al-Mushilli berkata :
الناسى فى عا لم التمثيل اكفاء                                                  
ابوهم ادم والام حواء                           
فان يكن لهم فى اصو لهم شرف                                               
يفا خرون به فا لطين والماء               
“Hai manusia di alam nyata ini adalah sama. Ayah mereka adalah Adam dan Ibunya adalah Hawa. Jika mereka mempunyai kemuliaan pada asal-usul mereka yang patut dibanggakan, maka tak lebih dari tanah dan air”.
الشعوب : jama’ah dari sya’ab, yaitu suku besar yang bernasab kepada suatu nenek moyang, seperti suku Rabi’ah dan Muhdar. Sedang kabilah adalah lebih kecil lagi, seperti kabilah Bakar yang merupakan bagian dari Rabi’ah, dan kabilah Tamim yang merupakn bagian dari Muhdar.
Pengertian Secara Umum
Setelah Allah SWT. melarang pada ayat-ayat yang lalu mengolok-olok sesama manusia mengejek serta menghina dan panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk, maka disini Allah menyebutkan ayat yang lebih menegaskan lagi larangan tersebut dan memeperkuat cegahan tersebut. Allah menerangkan bahwa manusia seluruhnya berasal dari seorang ayah dan seorang ibu. Maka kenapakah saling mengolok-olok sesama saudara hanya saja Allah Ta’ala menjadikan mereka bersuku-suku dan berkabilah-kabilah yang berbeda-beda, agar diantara mereka terjadi saling kenal dan tolong-menolong dalam kemaslahatan-kemaslahatan mereka yang bermacam-macam.
Namun tetap tidak ada kelebihan bagi seorang pun atas yang lain, kecuali yang dengan taqwa dan kesalehan, disamping kesempurnaan jiwa bukan dengan hal-hal yang bersifat keduniaan yang tiada abadi.
Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan, bahwa ketika peristiwa Futuh Mekkah, maka bilal naik keatas Ka’bah untuk mengumandangkan adzan. Melihat akan hal ini, maka ada beberapa orang yang berkata : “Apakah pantas budak hitam macam dia mengumandangkan adzan  diatas Ka’bah?”. Maka berkatalah yang lainnya : “Sekiranya Allah membeci orang lain, pasti Allah akan menggantikannya”. Ayat :13 ini turun sebagai penegasan, bahwa didalam Islam tidak ada diskriminasi. Orang yang paling mulia adalah dia yang paling taqwa. 
(HR. Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abi   Mulaikah)
Dalam suatu riwayat dikemukakan, bahwa ayat 13 ini turun berkenaan dengan Abi Hindin yang oleh Rasulullah hendak dikawinkan dengan seorang wanita Bayadhah. Bani Bayadhah berkata : “Wahai Rasulullah pantaskah kalau kami mengawinkan puteri-puteri kami kepada budak-budak kami?”.
Ayat 13 ini turun sebagai penjelasan bahwa dalam Islam tidak ada perbedaan antara bekas budak dengan orang merdeka.
(HR. Ibnu Katsir dalam Kitab Muhammat (yang ditulis oleh Ibnu Basykual) dari Abu Bakar bin Abi Dawud dalam tafsirnya)



Ar Ra’d ayat 11

له معقبت من بين يد يه ومن خلفه يحفظونه من امر الله  ان الله لايغيرما بقوم حتى يغيروا ما بانفسهم  واذا ارادالله بقوم سوءا فلا مروله  وما لهم من دونه من وال.                                                               
Artinya : 
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran dimuka dan dibelakangnya. Mereka menjaganya atas nama Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang  dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain dia”.
Keterangan : 
Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa malikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula malaikat yang mencatat amal-amalnya dan yang dikehendaki dalam ayat ini adalah malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut malaikat hafadzah.
Tuhan tidak akan merubah keadaan mereka, selama mereka tidak merubah sebab-sebab kemunduran mereka.
Penafsiran Kata-kata Sulit
Manusia dikelilingi 4 malaikat
                                                                     
له معقبت من بين يد يه ومن خلفه
Manusia mempunyai para malaikat yang bergantian mengawasinya diwaktu malam dan siang hari, menjaga dari bahaya, dan mengawasi keadaannya, sebagaimana para malaikat lain bergantian mengawasi perbuatannya,apakah baik atau buruk. Dua malaikat masing-masing berada disamping kanan dan kiri, untuk malaikat yang berada disamping kanan mencatat amal (perbuatan baik) dan yang berada disamping kiri mencatat amal buruk. Dua malaikat lain menjaga dan memeliharanya satu dari belakang dan satu dari depan . Jadi dia diapit oleh empat malaikat diwaktu siang, dan empat malaikat diwaktu malam secara bergantian, dua malaikat penjaga dan dua malaikat pencatat amal.
Kezaliman, Pertanda Rusaknya Kemakmuran
يغيروا ما بانفسهم.                                  ان الله لايغيرما بقوم حتى    
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum, berupa nikmat dan kesehatan, lalu mencabutnya dari mereka sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, seperti kezaliman sebagian mereka terhadap sebagian yang lain, dan kejahatan yang menggerogoti tatanan masyarakat serta menghancurkan umat, seperti bibit penyakit menghancurkan individu.
Asbabun Nuzul
“Allah mengetahui segala sesuatu yang ada dihati makhluk-Nya. Bahkan apa yang masih didalam kandungan pun Dia mengetahui. Disamping itu, Allah berkuasa memberi siksa dan nikmat kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Jadi, Allah adalah yang mengatur seluruh urusan umat manusia dan makhluk lainnya.

Al-Baqarah : 129
ربناوابعث فيهم رسولا منهم يتلوا عليهم ايتك ويعلمهم الكتب والحكمة ويزكيهم  انك انت العزيزالحكيم.                                              
Artinya : 
“Ya Tuhan kami, utusan untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Al-Hikmah (As Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Untuk menyempurnakan dakwahnya kepada penduduk tanah haram Ibrahim memohon kiranya Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri. Allah menetapkan permintaan tersebut dengan menentukan Muhammad SAW sebagai kaum yang ummi (yaitu bangsa Arab) dan bagi seluruh golongan jin dan manusia.
Penafsiran Kata-kata Sulit :
الكتب    : Al-Qur’an
الحكمة : Rahasia-rahasia hukum agama dan maksud syariat agama . Ibnu Duraid mengatakan bahwa hikmah adalah setiap kalimat yang menasehatimu dan mengajakmu kepada kemuliaan/mencegah dirimu dari kejahatan.
يزكيهم :Membersihkan jiwa mereka dari kotoran syirik dan aneka ragam maksiat.
العزيز : Yang kuat dan menang.
الحكيم : Yang tidak pernah berbuat kecuali karena ada hikmah dan masalah.
ربناوابعث فيهم رسولا منه                                                    
ويعلمهم الكتب والحكم                                                          
Dan mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka, disamping rahasia-rahasia syariat dan tujuan-tujuannya dengan pergaan amal dihadapan umat Islam, sehingga dapat dijadikan teladan bagi mereka, baik perbuatan maupun perkataan.


S. Al Anfal : 53
ذلك بان الله لم يك مغيرانعمة انعمها على قوم حتى يغيرواما بأنفسهم وان الله سميع عليم                                                                   
Artinya :
”Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah suatu nikmat yang telah dianugrahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana”.

DAFTAR PUSTAKA

•    Al Maragi Ahmad Mustofa, 1994. Tafsir Al Maraghi. Toha Putra. Semarang.
•    Mahali A. Mudjab, 2002. Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al Qur’an. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.




BAB I
PENDAHULUAN

Islam adalah agama samawi terakhir yang dirisalahkan melalui Rasulullah SAW. Karena Islam sebagai agama terakhir dan juga sebagai penyempurna ajaran-ajaran terdahulu, maka sangat bisa dipahami, jika Islam merupakan ajaran yang paling komprohensif, Islam sangat rinci mengatur kehidupan umatnya, melalui kitab suci al-Qur’an. Allah SWT memberikan petunjuk kepada umat manusia bagaimana menjadi insan kamil atau pemeluk agama Islam yang kafah atau sempurna.
 Secara garis besar ajaran Islam bisa dikelompokkan dalam dua kategori yaitu Hablum Minallah (hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan) danHablum Minannas (hubungan manusia dengan manusia). Allah menghendaki kedua hubungan tersebut seimbang walaupun hablumminannas lebih banyak di tekankan. Namun itu semua bukan berarti lebih mementingkan urusan kemasyarakatan, namun hal itu tidak lain karena hablumminannas lebih komplek dan lebih komprehensif. Oleh karena itu suatu anggapan yang salah jika Islam dianggap sebagai agama transedental.

BAB II
PEMBAHASAN

1.      Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 11-13
a.      Teks Ayat
يأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ لاَ يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُواْ خَيْراً مِّنْهُمْ وَلاَ نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْراً مِّنْهُنَّ وَلاَ تَلْمِزُواْ أَنفُسَكُمْ وَلاَ تَنَابَزُواْ بِالاٌّلْقَـبِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الايمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّـلِمُونَ () يأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ اجْتَنِبُواْ كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلاَ تَجَسَّسُواْ وَلاَ يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُواْ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ  () يأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَـكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَـكُمْ شُعُوباً وَقَبَآئِلَ لِتَعَـرَفُواْ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عَندَ اللَّهِ أَتْقَـكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ.

b.     Terjemah Mufrodat
-         Ayat 11
قَوْمٌ
لاَ يَسْخَرْ
ءَامَنُواْ
الَّذِينَ
يأَيُّهَا
Suatu kaum
Janganlah mengolok-olok
Mereka beriman
Orang-orang yang
wahai
مِّنْهُمْ
خَيْراً
أَن يَكُونُواْ
عَسَى
مِّن قَوْمٍ
dari mereka (yang mengolok-olok)
Lebih baik
Mereka (yang diolok-olok)
(karena) boleh jadi
Terhadap kaum (laki-laki) yang lain
أَن يَكُنَّ
عَسَى
مِّن نِّسَآءٍ
نِسَآءٌ
وَلاَ
Mereka (yang diolok-olok)
(karena) boleh jadi
Terhadap perempuan-perempuan yang lain
Paraperempuan
Dan janganlah
أَنفُسَكُمْ
تَلْمِزُواْ
وَلاَ
مِّنْهُنَّ
خَيْراً
Antara sesame kalian
Kalian asling mencela
Dan jangnalh
Dari mereka (yang diolok-olok)
Lebih baik
الاسْمُ
بِئْسَ
بِالاٌّلْقَـبِ
تَنَابَزُواْ
وَلاَ
Nama itu
Seburuk-buruk
Dengan julukan/gelar (yang buruk)
Kalian saling memanggil
Dan janganlah
لَّمْ
وَمَن
الايمَانِ
بَعْدَ
الْفُسُوقُ
tidak
Dan siapa yang
keimanan
sesudah
(adalah) kefasikan
الظَّـلِمُونَ
هُمُ
فَأُوْلَـئِكَ
يَتُبْ
Orang-orang Dzalim.
mereka adalah
Maka mereka itu
Dia bertaubat

-         Ayat 12
كَثِيراً
اجْتَنِبُواْ
ءَامَنُواْ
الَّذِينَ
يأَيُّهَا
Banyak
Kalian jauhilah
Mereka beriman
Orang-orang yang
wahai
وَلاَ
إِثْمٌ
الظَّنِّ
إِنَّ بَعْضَ
مِّنَ الظَّنِّ
Dan janganlah
dosa
Prasangka (itu adalah)
Sesuangguhnya sebagian
Dari prasangka
بَعْضاً
بَّعْضُكُم
يَغْتَب
وَلاَ
تَجَسَّسُواْ
(terhadap) sebagian yang lain
Sebagian dari kalian
menggunjing
Dan janganlah
Kalian memata-matai aib/kekurangan (orang lain)
أَخِيهِ
لَحْمَ
أَن يَأْكُلَ
أَحَدُكُمْ
أَيُحِبُّ
Saudaranya sendiri
daging
Untuk memakan
Salaha seorang diantara kalian
Apakah suka
إِنَّ
اللَّهَ
وَاتَّقُوا ْ
فَكَرِهْتُمُوهُ
مَيْتاً
sesungguhnya
(kepada) Allah
dan bertaqwalah kalian
Tentyu kalian merasa benci/ jijik terhdapnya
(yang)mati/ bangkai
رَّحِيمٌ
تَوَّابٌ
اللَّهَ
Maha Kekal kasih saying Nya
Maha Penerima Taubat
Allah

-         Ayat 13
مِّن
خَلَقْنَـكُم
إِنَّا
النَّاسُ
يأَيُّهَا
Dari
Kami telah menciptakan kalian
Sungguh kami
manusia
wahai
وَقَبَآئِلَ
شُعُوباً
وَجَعَلْنَـكُمْ
وَأُنْثَى
ذَكَرٍ
Dan bersuku-suku
Berbangsa-bangsa
Dan Kami menjadikan kalian
Dan seorang perempuan (Hawa)
Seorang laki-laki (Adam)
أَتْقَـكُمْ
عَندَ اللَّهِ
أَكْرَمَكُمْ
إِنَّ
لِتَعَـرَفُواْ
(yang) paling bertaqwa diantara kalian
Disisi Allah
(yang) paling mulia diantara kalan
sesungguhnya
Agar kalian saling berkenalan
خَبِيرٌ
عَلِيمٌ
اللَّهَ
إِنَّ
Maha Melihat
Maha Mengetahui
Allah
sesungguhnya

c.      Terjemah Ayat
11. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[1409] dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman[1410] dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
13. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

d.      Sebab Turunnya Ayat
-         Ayat 11
Ibnu Munzir mengetengahkan sebuah hadis melalui Ibnu Juraij menceritakan, mereka menduga bahwa ayat ini diturunkan mengenai Salman Al Farisi r.a. yaitu ketika ia makan lalu tidur dan sewaktu ia tidur kentut; lalu ada seorang lelaki yang menggunjingkan tentang makan dan tidur Salman itu, maka turunlah ayat ini.
-         Ayat 12
Ibnu Abu Hatim mengetengahkan sebuah hadis melalui Ibnu Abu Mulaikah menceritakan, bahwa ketika penaklukan kota Mekah Bilal langsung naik ke atas Kabah kemudian mengumandangkan suara azan, sebagian orang-orang ada yang mengatakan, "Apakah hamba sahaya yang hitam ini berani azan di atas Kabah?" Sebagian dari mereka mengatakan, "Jika Allah murka, niscaya Dia akan mencegahnya." Lalu Allah swt. menurunkan firman-Nya, "Hai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan..." (Q.S. Al Hujurat, 13) Ibnu Asakir di dalam kitab Mubhamat mengatakan, "Aku telah menemukan di dalam manuskrip yang ditulis oleh Ibnu Basykuwal, bahwa Abu Bakar bin Abu Daud mengetengahkan sebuah hadis di dalam kitab tafsir yang ditulisnya, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Hindun. Rasulullah saw. memerintahkan kepada Bani Bayyadhah supaya mereka mengawinkan Abu Hindun dengan seorang wanita dari kalangan mereka. Lalu mereka menjawab, "Wahai Rasulullah! Apakah pantas bila kami menikahkan anak-anak perempuan kami dengan bekas hamba sahaya kami?" Lalu turunlah ayat ini.
-         Ayat 13
Imam Thabrani mengetengahkan sebuah hadis dengan sanad yang Hasan melalui Abdullah bin Abu Aufa, bahwasanya ada segolongan orang-orang Arab Badui mengatakan kepada Rasulullah saw., "Wahai Rasulullah! Kami telah masuk Islam tanpa berperang lebih dahulu dengan engkau, sedangkan Bani Fulan (mereka masuk Islam setelah terlebih dahulu) memerangimu." Maka Allah swt. menurunkan firman-Nya, "Mereka telah merasa memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka..." (Q.S. Al Hujurat, 17) Al Bazzar mengetengahkan sebuah hadis melalui jalur Sa'id bin Jubair yang bersumber dari Ibnu Abbas r.a. hadis yang dikemukakannya itu sama dengan hadis di atas. Ibnu Abu Hatim mengetengahkan pula hadis yang sama melalui Hasan, di dalam hadis yang diketengahkannya itu disebutkan, bahwa hal tersebut terjadi sewaktu penaklukan kota Mekah. Ibnu Said mengetengahkan sebuah hadis yang bersumber dari Muhammad bin Ka'b Al Qurazhi yang telah menceritakan, bahwa ada sepuluh orang dari kalangan Bani Asad datang menghadap Rasulullah saw. yaitu pada tahun 9 H. Di antara mereka terdapat Thalhah bin Khuwailid. Sedangkan pada saat mereka datang, Rasulullah saw. berada di mesjid bersama dengan para sahabat; lalu mereka mengucapkan salam, dan juru bicara mereka berkata, "Wahai Rasulullah! Sesungguhnya kami bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya, bahwasanya engkau adalah hamba dan Rasul-Nya. Kami datang kepadamu wahai Rasulullah, sedangkan engkau tidak pernah mengutus utusanmu kepada kami, dan kami menjamin keislaman orang-orang yang ada di belakang kami (yakni kaum mereka)." Maka Allah menurunkan firman-Nya, "Mereka telah merasa memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka..." (Q.S. Al Hujurat, 17) Said bin Manshur di dalam kitab Sunahnya mengetengahkan sebuah hadis melalui Said bin Jubair yang menceritakan, bahwa ada segolongan orang-orang Arab Badui dari kalangan Bani Asad datang menghadap Nabi saw. Lalu mereka berkata, "Kami datang kepadamu (untuk masuk Islam) sedangkan kami belum pernah memerangimu", lalu Allah menurunkan firman-Nya, "Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka..." (Q.S. Al Hujurat, 17)

e.        Tafsir Ayat
1)     Ayat 11
Dalam ayat ini, Allah SWT memperingatkan kaum mukmin supaya jangan ada suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olokkan itu pada sisi Allah jauh lebih mulia dan terhormat dari mereka yang mengolok-olokkan, dan demikian pula di kalangan wanita, jangan ada segolongan wanita yang mengolok-olokkan wanita yang lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olokkan itu pada sisi Allah lebih baik dan lebih terhormat dari wanita-wanita yang yang mengolok-olokkan itu. Dan Allah SWT melarang pula kaum mukminin mencela kaum mereka sendiri karena kaum mukminin semuanya harus dipandang satu tubuh yang diikat dengan kesatuan dan persatuan, dan dilarang pula panggilan-panggilan dengan gelar-gelar yang buruk seperti panggilan kepada seseorang yang sudah beriman dengan kata-kata: hai fasik, hai kafir, dan sebagainya.
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, sabda Rasulullah saw sebagai berikut yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupamu dan harta kekayaanmu. akan tetapi Ia memandang kepada hatimu dan perbuatanmu.”
Hadis ini mengandung isyarat bahwa seorang hamba Allah jangan memastikan kebaikan atau keburukan seseorang semata-mata karena melihat kepada amal perbuatannya saja, sebab ada kemungkinan seorang tampak mengerjakan amal kebaikan, padahal Allah melihat di dalam hatinya ada sifat yang tercela, dan sebaliknya pula mungkin ada seorang yang kelihatan melakukan suatu yang tampak buruk, akan tetapi Allah melihat dalam hatinya ada rasa penyesalan yang besar yang mendorong kepadanya bertobat dari dosanya. Maka amal perbuatan yang nampak dari luar itu, hanya merupakan tanda-tanda saja yang menimbukan sangkaan yang kuat, tetapi belum sampai ke tingkat meyakinkan. Maka Allah SWT melarang kaum mukminin memanggil orang dengan panggilan-panggilan yang buruk setelah mereka beriman. Ketika Rasulullah saw tiba di Madinah, maka orang-orang Ansar banyak mempunyai nama lebih dari satu, dan jika mereka dipanggil oleh kawan mereka, kadang-kadang dipanggil dengan nama yang tidak disukainya, dan setelah hal itu dilaporkan kepada Rasulullah saw, maka turunlah ayat ini.
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini, beliau menerangkan bahwa ada seorang laki-laki yang pernah di masa mudanya mengerjakan suatu yang buruk, lalu ia bertobat dari dosanya, maka Allah melarang siapa saja yang menyebut-nyebut lagi keburukannya di masa yang lalu, karena hal itu dapat membangkitkan perasaan yang tidak baik, membangkit-bangkit kefasikan setelah beriman. Itu sebabnya Allah melarang panggilan-panggilan dengan gelar-gelar yang buruk itu.
Adapun gelar-gelar yang mengandung penghormatan, itu tidak dilarang seperti sebutan kepada Abu Bakar dengan As Siddiq, kepada Umar dengan Faruq, kepada Usman dengan sebutan Zun Nurain dan kepada Ali dengan Abu Turab dan kepada Khalid bin Walid dengan sebutan Saifullah (pedang Allah).
Panggilan yang buruk dilarang diucapkan sesudah orangnya beriman karena gelar-gelar buruk itu mengingatkan kepada kedurhakaan yang sudah lewat, yang sekarang tidak pantas lagi dilontarkan kepada orangnya setelah ia beriman. Barang siapa tidak bertobat, bahkan terus pula memanggil-manggil dengan gelar-gelar yang buruk itu, maka mereka itu dicap oleh Allah SWT sebagai orang-orang yang zalim terhadap diri mereka sendiri dan pasti akan menerima konsekwensinya berupa azab dari Allah pada Hari Kiamat

2)     Ayat 12
Dalam ayat ini, Allah SWT memberi peringatan kepada orang-orang yang beriman, supaya mereka menjauhkan diri dari prasangka terhadap orang-orang yang beriman dan jika mereka mendengar sebuah kalimat yang keluar dari mulut saudaranya yang mukmin, maka kalimat itu harus diberi tanggapan yang baik, ditujukan kepada pengertian yang baik, dan jangan sekali-kali timbul salah paham, apalagi menyelewengkannya sehingga menimbulkan fitnah dan prasangka. Umar telah berkata yang artinya demikian:  "Jangan sekali-kali kamu menerima ucapan yang keluar dari mulut saudaramu, melainkan dengan maksud dan pengertian yang baik, sedangkan kamu sendiri menemukan arah pengertian yang baik itu."
Dan diriwayatkan dan Rasulullah saw bahwa sesungguhnya Allah mengharamkan dari orang mukmin darahnya, kehormatannya dan menyangka kepadanya dengan sangkaan yang buruk, atau dilarang berburuk sangka. Adapun orang yang secara terang-terangan berbuat maksiat, atau sering dijumpai berada di tempat orang yang biasa minum arak hingga mabuk, maka buruk sangka terhadap mereka itu tidak dilarang. Imam Baihaqi dalam kitabnya Syu'abul Iman meriwayatkan sebuah hadis dari Said bin Musayyab sebagai berikut:
Beberapa saudaraku di antara sahabat Rasulullah saw telah menyampaikan sebuah tulisan kepadaku yang berisi beberapa petunjuk, di antaranya, "Letakkanlah urusan saudaramu di atas sangkaan yang sebaik-baiknya selagi tidak datang kepadamu yang membantah sangkaanmu itu dan jangan sekali-kali engkau memandang buruk perkataan yang pernah diucapkan oleh seorang muslim, padahal engkau menemukan tafsiran yang baik pada ucapannya itu; dan barangsiapa yang menempatkan dirinya di tempat purbasangka, maka janganlah ia mencela, kecuali kepada dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang menyembunyikan rahasianya, maka pilihan itu berada di tangannya, dan tidak engkau balas seorang yang mendurhakai Allah (pada dirimu), dengan contoh yang lebih baik ialah taat kepada Allah demi balasan itu; dan hendaklah engkau selalu bersahabat dengan orang-orang yang benar sehingga engkau berada di dalam lingkup budi pekerti yang mereka upayakan, karena mereka itu menjadi perhiasan dalam kekayaan dan menjadi perisai ketika menghadapi bahaya yang besar. Dan jangan sekali-kali meremehkan sumpah agar kamu tidak dihinakan oleh Allah SWT. Dan jangan sekali-kali bertanya tentang sesuatu yang belum ada sehingga berwujud terlebih dahulu dan jangan engkau sampaikan pembicaraan kecuali kepada orang yang mencintainya. Dan tetaplah berpegang kepada kebenaran walaupun kamu akan terbunuh olehnya. Hindarilah musuhmu dan tetaplah menaruh curiga kepada kawanmu. kecuali orang yang benar-benar sudah dapat dipercaya, dan tidak ada yang dapat dipercaya kecuali orang yang takut kepada Allah. Dan bermusyawarahlah dalam urusanmu dengan orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka dalam keadaan gaib.
Kemudian Allah menerangkan sebabnya orang-orang mukmin wajib menjauhkan diri dari purbasangka, oleh karena sebagian purbasangka itu mengandung dosa. Berburuk sangka terhadap orang mukmin adalah suatu dosa besar karena Allah nyata-nyata telah melarangnya. Selanjutnya Allah melarang kaum mukminin mencari-cari kesalahan orang lain, mencari kecemaran, dan noda orang lain.
Abu Qilabah meriwayatkan bahwa telah sampai berita kepada Umar bin Khattab, bahwa Abu Mihjan As Saqafi minum arak bersama-sama dengan kawan-kawannya di rumahnya. Maka pergilah Umar hingga masuk ke dalam rumahnya, tetapi tidak ada orang yang bersama Abu Mihjan itu kecuali seorang laki-laki, Abu Mihjan sendiri. Maka berkatalah Abu Mihjan: "Sesungguhnya perbuatanmu ini tidak halal bagimu karena Allah telah melarangmu dari mencari-cari kesalahan orang lain". Kemudian Umar keluar dari rumahnya.
Dan Allah melarang pula bergunjing atau mengumpat orang lain, dan yang dinamakan gibah atau bergunjing itu ialah menyebut-nyebut suatu keburukan orang lain yang tidak disukainya sedang ia tidak di tempat itu baik sebutan atau dengan isyarat, karena yang demikian itu, menyakiti orang yang diumpatnya. Dan sebutan yang menyakiti itu ada yang mengenai, keduniaan, badan, budi pekerti, harta atau anak, istri atau pembantunya, dan seterusnya yang ada hubungannya dengan dia.
Telah berkata Hasan (cucu Nabi) bahwa bergunjing itu ada tiga macam, ketiga-tiganya tersebut dalam Alquran, yaitu gibah, ifki dan buhtan. Gibah atau bergunjing, yaitu menyebut-nyebut keburukan yang ada pada saudaramu. Adapun ifki yaitu kamu menyebut-nyebut keburt tentang seseorang mengenai berita-berita yang sampai kepadamu, dan buhtan atau tuduhan yang palsu ialah bahwa engkau menyebut-nyebut kejelekan seseorang yang tidak ada padanya. Dan tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama bahwa bergunjing ini termasuk dosa besar, dan diwajibkan kepada orang yang bergunjing supaya segera bertobat kepada Allah dan minta maaf kepada orang yang bersangkutan.
Mu'awiyah bin Kurrah berkata kepada Syubah: "Jika seandainya ada seorang yang putus tangannya lewat di hadapanmu, kemudian kamu berkata 'itu si buntung', maka ucapan itu sudah termasuk bergunjing".
Allah taala mengemukakan sebuah perumpamaan supaya terhindar dari bergunjing, yaitu dengan suatu peringatan yang berbentuk pertanyaan: "Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging bangkai saudaranya?" Tentu saja kamu merasa jijik kepadanya. Oleh karena itu, jangan pula menyebut-nyebut keburukan seseorang ketika ia masih hidup. Sebagaimana kamu tidak menyukainya yang demikian itu, karena dipandang buruk juga dalam syariat.
Ali bin Husen mendengar seorang laki-laki sedang mengumpat orang lain, lalu ia berkata: "Awas kamu jangan bergunjing karena bergunjing itu sebagai lauk pauk manusia". Nabi sendiri berkhutbah pada hijjatul wada (naik haji yang penghabisan) yang artinya:  Sesungguhnya darahmu, hartamu, dan kehormatanmu haram bagimu seperti haramnya hari ini dalam bulan ini dan di negerimu ini.
Allah menyuruh kaum mukminin supaya tetap bertakwa kepada-Nya karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun terhadap orang yang bertobat dan mengakui kesalahan-kesalahannya. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang, dan tidak akan mengazab seseorang setelah ia bertobat. Bergunjing itu tidak diharamkan jika disertai dengan maksud-maksud yang baik, yang tidak bisa tercapai kecuali dengan gibah itu. dan soal-soal yang dikecualikan dan tidak diharamkan dalam bergunjing itu ada enam perkara:
1.      Dalam rangka kelaliman agar supaya dapat dibela oleh seorang yang mampu menghilangkan kezaliman itu.
2.      Jika dijadikan bahan untuk merubah sesuatu kemungkaran dengan menyebut-nyebut kejelekan seseorang kepada seorang penguasa yang mampu mengadakan tindakan perbaikan.
3.      Di dalam mahkamah, seorang yang mengajukan perkara boleh melaporkan kepada mufti atau hakim bahwa ia telah dianiaya oleh seorang penguasa yang (sebenarnya) mampu mengadakan tindakan perbaikan.
4.      Memberi peringatan kepada kaum Muslimin tentang suatu kejahatan atau bahaya yang mungkin akan mengenai seseorang; misalnya menuduh saksi-saksi tidak adil, atau memperingatkan seseorang yang akan melangsungkan pernikahan bahwa calon pengantinnya adalah seorang yang mempunyai cacat budi pekertinya, atau mempunyai penyakit yang menular.
5.      Bila orang yang diumpat itu terang-terangan melakukan dosa di muka umum, seperti minum arak di hadapan khalayak ramai.
6.      Mengenalkan seorang dengan sebutan yang kurang baik, seperti a'war (orang yang matanya buta sebelah) jika tidak mungkin memperkenalkannya kecuali dengan nama itu.
3)     Ayat 13
Dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan bahwa manusia diciptakan-Nya berbagai-bagai bangsa dan suka-suka bangsa, berbeda-beda warna kulit bukan untuk saling mencemoohkan, akan tetapi supaya saling mengenal dan saling menolong. Dan Allah taala tidak menyukai orang-orang yang memperlihatkan kesombongan dengan keturunannya, kepangkatan atau kekayaannya karena yang paling mulia di antara manusia pada sisi Allah hanyalah orang yang paling bertakwa kepada-Nya.
Diriwayatkan oleh Abu Daud mengenai turunnya ayat ini yaitu tentang peristiwa seorang sahabat yang bernama Abu Hindin yang biasa berkhidmat kepada Nabi untuk mengeluarkan darah kotor dari kepalanya dengan pembekam, yang bentuknya seperti tanduk.
Rasulullah saw menyuruh kabilah Bani Bayadah agar menikahkan Abu Hindin dengan seorang wanita di kalangan mereka. Mereka bertanya: "Apakah patut kami mengawinkan gadis-gadis kami dengan budak-budak?". Maka Allah menurunkan ayat ini, agar kita tidak mencemoohkan seseorang karena memandang rendah kedudukannya.
Kebiasaan manusia memandang kemuliaan itu selalu ada sangkut pautnya dengan kebangsaan dan kekayaan, padahal menurut pandangan Allah orang yang paling mulia itu adalah orang yang paling takwa kepada Nya.
Diriwayatkan oleh Abi Mulaikah tatkala terjadi Futuh Mekah yaitu kembalinya negeri Mekah ke bawah kekuasaan Rasulullah saw pada tahun 8 Hijriah, maka Bilal disuruh Rasulullah saw untuk berazan. Ia memanjat Kakbah dan berazan, berseru kepada kaum muslimin untuk salat berjemaah.
Attab bin Useid ketika melihat Bilal naik ke atas Kakbah untuk berazan, berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah mewafatkan ayahku sehingga tidak sempat menyaksikan peristiwa hari ini". Dari Haris bin Hisyam berkata: "Muhammad tidak akan menemukan orang lain untuk berazan kecuali burung gagak yang hitam ini". Maksudnya mencemoohkan Bilal karena warna kulitnya yang hitam. Maka datanglah Malaikat Jibril memberitahukan kepada Rasulullah saw apa yang mereka ucapkan itu. Maka turunlah ayat ini, yang melarang manusia menyombongkan diri karena kedudukan, kepangkatan, kekayaan, dan keturunan, mencemoohkan orang-orang miskin; diterangkan pula bahwa kemuliaan itu disangkut pautkan dengan ketakwaan kepada Allah SWT.
Diriwayatkan oleh Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw berkhutbah pada hari Futuh Mekah. Dari atas untanya, beliau memuji kepada. Allah sebagaimana mestinya, kemudian beliau menerangkan bahwa Allah telah menghilangkan dari umat Islam adat jahiliah yang suka bersombong-sombong dengan menonjolkan kebesaran nenek moyangnya.
Manusia itu hanya dua macam, yakni seorang yang berbuat kebaikan dan bertakwa, dialah yang mulia pada sisi Allah. Dan seorang lagi yang durhaka, dialah yang celaka, yang sangat hina menurut pandangan Allah.

Tafsir Jalalain : Surah Al Hujuraat 13
(Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan) yakni dari Adam dan Hawa (dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa) lafal Syu'uuban adalah bentuk jamak dari lafal Sya'bun, yang artinya tingkatan nasab keturunan yang paling tinggi (dan bersuku-suku) kedudukan suku berada di bawah bangsa, setelah suku atau kabilah disebut Imarah, lalu Bathn, sesudah Bathn adalah Fakhdz dan yang paling bawah adalah Fashilah. Contohnya ialah Khuzaimah adalah nama suatu bangsa, Kinanah adalah nama suatu kabilah atau suku, Quraisy adalah nama suatu Imarah, Qushay adalah nama suatu Bathn, Hasyim adalah nama suatu Fakhdz, dan Al-Abbas adalah nama suatu Fashilah (supaya kalian saling kenal-mengenal) lafal Ta'aarafuu asalnya adalah Tata'aarafuu, kemudian salah satu dari kedua huruf Ta dibuang sehingga jadilah Ta'aarafuu; maksudnya supaya sebagian dari kalian saling mengenal sebagian yang lain bukan untuk saling membanggakan ketinggian nasab atau keturunan, karena sesungguhnya kebanggaan itu hanya dinilai dari segi ketakwaan. (Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui) tentang kalian (lagi Maha Mengenal) apa yang tersimpan di dalam batin kalian.

2.      Qur’an Surat Al-Isro ayat 29-30
a.      Teks Ayat
وَلاَ تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلاَ تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَّحْسُوراً - إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَآءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا.  
b.     Terjemah Mufrodat
- Ayat 29
إِلَى
مَغْلُولَةً
يَدَكَ
تَجْعَلْ
وَلاَ
pada
terbelenggu
tanganmu
Kamu jadikan
Dan jangan
الْبَسْطِ
كُلَّ
تَبْسُطْهَا
وَلاَ
عُنُقِكَ
Uluran (berlebihan dalam menginfakan
setiap
Kamu mengulurkan/ menginfakannya
Dan janganlah
Lehermu (pelit/kikir)
مَّحْسُوراً
مَلُومًا
فَتَقْعُدَ
Menyesal (karena tidak punya apapun)
Tercela (karena kikir)
Maka kamu akan menjadi

-         Ayat 30
لِمَن
الرِّزْقَ
يَبْسُطُ
رَبَّكَ
إِنَّ
Kepada siapa yang
rizki
Dia melapangkan
Tuhanmu
sesungguhnya
بِعِبَادِهِ
كَانَ
إِنَّهُ
وَيَقْدِرُ
يَشَآءُ
Kepada para hambanya
adalah
Sesungguhnya Dia
dan Dia membatasi rizki (kepada siapa yang Dia kehendaki)
Dia kehendaki
بَصِيرًا
خَبِيرًا
Maha Melihat
Maha Mengetahui

c.      Terjemah
29. Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya[852] karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.
30. Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.
d.      Sebab Turunnya Ayat
-         Ayat 29
Ibnu Mundzir mengetengahkan sebuah hadis melalui Syihab yang menceritakan, bahwa jika Rasulullah saw. membacakan Alquran kepada orang-orang musyrik Quraisy dengan maksud untuk mengajak mereka kepada ajaran Alquran, maka mereka berkata dengan nada yang memperolok-olokkan, yaitu sebagaimana yang disitir oleh firman-Nya, "Hati kami berada dalam tutupan yang menutupi apa yang kamu seru kami kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding." (Fushshilat 5). Maka Allah menurunkan firman-Nya dalam peristiwa tersebut seperti apa yang mereka kehendaki dalam perkataan mereka itu, yaitu, "Dan apabila kamu membaca Alquran..." (Q.S. Al-Isra 45)

e.      Tafsir Ayat
1)     Ayat 29
Kemudian Allah SWT menjelaskan cara-cara yang baik dalam membelanjakan harta, yaitu Allah SWT melarang orang menjadikan tangannya terbelenggu pada leher. Ungkapan ini adalah lazim dipergunakan oleh orang-orang Arab, yang berarti larangan berlaku bakhil. Allah melarang orang-orang yang bakhil, sehingga enggan memberikan harta kepada orang lain, walaupun sedikit. Sebaliknya Allah juga melarang orang yang terlalu mengulurkan tangan, ungkapan serupa ini berarti melarang orang yang berlaku boros membelanjakan harta, sehingga belanja yang dihamburkannya melebihi kemampuan yang dimilikinya. Akibat orang yang semacam itu akan menjadi tercela, dan dicemoohkan oleh handai-tolan serta kerabatnya dan menjadi orang yang menyesal karena kebiasaannya itu akan mengakibatkan dia tidak mempunyai apa-apa.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa cara yang baik dalam membelanjakan harta ialah membelanjakannya dengan cara yang layak dan wajar, tidak terlalu bakhil dan tidak terlalu boros.
Adapun keterangan-keterangan yang didapat dari hadis-hadis Nabi dapat dikemukakan sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Imam Ahmad dan ahli hadis yang lain, dari Ibnu Abbas ia berkata: "Rasulullah saw bersabda: "Tidak akan menjadi miskin orang yang berhemat".
Imam Baihaqi meriwayatkan sebuah hadis dari Ibnu Abbas, Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah saw bersabda: Berlaku hemat dalam membelanjakan harta, separoh dari penghidupan.

Tafsir Jalalain Surah Al Israa' 29
(Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu) artinya janganlah kamu menahannya dari berinfak secara keras-keras; artinya pelit sekali (dan janganlah kamu mengulurkannya) dalam membelanjakan hartamu (secara keterlaluan, karena itu kamu menjadi tercela) pengertian tercela ini dialamatkan kepada orang yang pelit (dan menyesal) hartamu habis ludes dan kamu tidak memiliki apa-apa lagi karenanya; pengertian ini ditujukan kepada orang yang terlalu berlebihan di dalam membelanjakan hartanya.

2)     Ayat 30
Kemudian Allah SWT menghibur Rasul Nya dan kaum Muslimin bahwa keadaan mereka tidak mampu itu hanyalah bersifat sementara. Dan sifat itu bukanlah hina di hadapan Allah, akan tetapi semata-mata karena kehendak Allah yang memberi dan mengatur rezeki. Allah SWT menjelaskan bahwa Dia lah yang melapangkan rezeki kepada siapa yang dikehendaki Nya di antara hamba Nya, dan Dia pulalah yang menyempitkannya. Kesemuanya berjalan menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah terhadap hamba-hamba Nya dalam usaha mencari harta dan cara memperkembangkannya, yang sangat erat hubungannya dengan alat dan pengetahuan tentang pengolahan harta itu. Yang demikian itu adalah ketentuan Allah yang bersifat umum yang berlaku bagi seluruh hambanya. Namun demikian Allah jualah yang menentukan menurut kehendak Nya.
Di akhir ayat ini Allah SWT menegakkan bahwa Dia Maha Mengetahui akan hamba-hamba-Nya, siapakah di antara mereka yang memanfaatkan kekayaan demi kemaslahatan dan siapakah yang menggunakannya untuk kemudaratan. Dan siapakah di antara hamba-hamba-Nya yang dalam kemiskinan tetap bersabar dan tawakal kepada Allah, dan siapa di antara hamba-hamba-Nya, karena kemiskinannya kemudian menjadi orang-orang yang berputus asa, jauh dari rahmat Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya, bagaimana mereka mengurusi dan mengatur harta benda, apakah mereka itu membelanjakan harta pemberian Allah itu dengan boros ataukah dia itu bakhil.
Oleh sebab itulah maka kaum Muslimin hendaknya tetap berpegang kepada ketentuan-ketentuan Allah, dengan menaati segala perintah Nya dan menjauhi larangan Nya. Dalam membelanjakan harta hendaklah berlaku wajar. Hal itu termasuk sunah di antara sunah-sunah Allah.

3.      Qur’an Surat Ar-Ra’d Ayat 11
a.      Teks Ayat

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُوْ نَهُ مِنْ اَمْرِاللهِ إِنَّ اللهََ لاَيُغَيِّرُ مَابِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوْامَا بِأَنْفُسِهِمْ وَاِذَا أَرَادَاللهُ بِقَوْمٍ سُوْءًا فَلاَ مَرَدَّالَهُ وَمَالَهُمْ مِنْ دُوْنِهِ مِنْ وَّالٍ.

b.     Terjemah Mufrodat
وَمِنْ
بَيْنِ يَدَيْهِ
مِّن
مُعَقِّبَـتٌ
لَهُ
Dan dari
depannya
Dari
Para malaikat pengiring/ pendamping
Baginya (manusia)
اللَّهِ
أَمْرِ
مِنْ
يَحْفَظُونَهُ
خَلْفِهِ
Allah
perintah
karena
Mereka menjaganya
belakangnya
مَا
يُغَيِّرُ
لاَ
اللَّهَ
إِنَّ
Apa (yang)
Dia mengubah
tidak
Allah
sesungguhnya
بِأَنفُسِهِمْ
مَا
يُغَيِّرُواْ
حَتَّى
بِقَوْمٍ
Ada pada diri-diri mereka sendiri
Apa (kondisi) yang
Mereka mengubah
sehingga
(ada) pada suatu kaum
فَلاَ
سُوْءًا
بِقَوْمٍ
أَرَادَاللهُ
وَاِذَا
Maka janganlah
Keburukan /siksa
Ada (pada) suatu kaum
Allah menghengdaki
Dan jika
دُوْنِهِ
مِنْ
لَهُمْ
وَمَا
مَرَدَّالَهُ
Selain Dia
dari
Bagi mereka
Dan tidak ada
Yang dapat menolak baginya
وَّالٍ
مِنْ
pelindung
dari

c.      Terjemah
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

d.     Sebab Turunnya Ayat
Imam Thabrani dan lain-lainnya mengetengahkan sebuah hadis melalui Ibnu Abbas r.a., bahwasanya Arbad bin Qais dan Amir bin Thufail datang ke Madinah menemui Rasulullah saw. Lalu Amir bin Thufail berkata, "Hai Muhammad! Hadiah apakah yang akan engkau berikan kepadaku, jika aku masuk Islam?" Rasulullah saw. menjawab, "Engkau akan mendapatkan sebagaimana apa yang didapat oleh kaum Muslimin yang lain, dan engkau pun akan menerima seperti apa yang mereka alami?" Lalu Amir berkata lagi, "Apakah engkau akan menjadikan aku sebagai penggantimu sesudahmu?" Rasulullah saw. menjawab, "Hal tersebut bukan untukmu dan bukan untuk kaummu." Lalu mereka berdua keluar dari majelis Rasulullah saw. Setelah mereka keluar, lalu Amir berkata kepada Arbad, "Bagaimana kalau aku menyibukkan diri Muhammad dengan berbicara kepadanya, kemudian dari belakang kamu tebas dia dengan pedangmu?" Arbad setuju dengan usul tersebut, lalu keduanya kembali lagi menemui Rasulullah saw. Sesampainya di sana Amir berkata, "Hai Muhammad! Berdirilah bersamaku, aku akan berbicara kepadamu." Kemudian Amir berbicara kepadanya, dan Arbad menghunus pedangnya; akan tetapi ketika Arbad meletakkan tangannya pada pegangan pedangnya, tiba-tiba tangannya lumpuh. Dan Rasulullah saw. melirik kepadanya serta melihat tingkahnya itu dengan jelas, lalu beliau berlalu meninggalkan mereka. Maka setelah itu keduanya pergi, dan ketika mereka berdua sampai di kampung Ar-Raqm, lalu Allah mengutus halilintar kepada Arbad untuk menyambarnya, maka halilintar itu membunuhnya. Kemudian turunlah firman-Nya, "Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan..." (Q.S. Ar-Ra'd 8) sampai dengan firman-Nya, "Dan Dialah Tuhan Yang Maha keras siksa-Nya." (Q.S. Ar-Ra'd 13).
  
e.  Tafsir Ayat
Allah swt. menugaskan kepada beberapa malaikat untuk selalu mengikuti manusia secara bergiliran, di muka dan di belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Ada malaikat yang menjaganya di malam hari, dan ada yang di siang hari, menjaga dari berbagai bahaya dan kemudaratan, dan ada pula malaikat yang mencatat semua amal perbuatan manusia, yang baik atau yang buruk. Dua malaikat di sebelah kanan dan di sebelah kiri yang mencatat amal perbuatan manusia. Yang sebelah kanan mencatat segala kebaikannya, dan yang sebelah kiri mencatat amal keburukannya, dan dua malaikat lain lagi yang satu di depan dan yang satu lagi di belakangnya. Maka setiap orang ada malaikatnya empat pada siang hari dan empat pada malam hari yang datangnya secara bergiliran, sebagaimana diterangkan dalam hadis yang sahih yang artunya : “Ada beberapa malaikat yang menjaga kamu secara bergiliran di malam hari dan di siang hari. Mereka bertemu (untuk mengadakan serah terima) pada waktu salat subuh dan salat asar, lalu naiklah malaikat-malaikat yang menjaga di malam hari kepada Allah Taala. Dia bertanya sedangkan Ia sudah mengetahui apa yang akan ditanyakannya itu: "Bagaimana keadaan hamba-hamba-Ku ketika kamu meninggalkan mereka (di dunia)?" Malaikat menjawab: "Kami datang kepada mereka padahal mereka sedang salat dan kami meninggalkan mereka dan mereka pun sedang salat pula." (H.R. Bukhari).
Apabila manusia mengetahui bahwa di sampingnya ada malaikat-malaikat yang mencatat semua amal perbuatannya, maka patutlah dia selalu menjaga diri dari perbuatan maksiat karena khawatir akan dilihat oleh malaikat-malaikat itu seperti kekhawatirannya perbuatan itu dilihat oleh orang yang disegani. Dan tentang penelitian malaikat-malaikat terhadap perbuatan-perbuatan manusia dapat diyakinkan kebenarannya setelah ilmu pengetahuan menciptakan alat-alat yang baru yang dapat mencatat semua kejadian-kejadian yang terjadi pada diri manusia sebagai contoh aliran listrik dan pemakaian air minum di tiap-tiap kota dan desa telah diatur sedemikian rupa sehingga dapat diketahui berapa jumlah yang telah dipergunakan, demikian pula ada alat-alat yang dipasang di kendaraan bermotor yang dapat mencatat kecepatannya dan mengukur berapa jarak yang telah ditempuh. Perkembangan ilmu pengetahuan yang dapat mengungkapkan bermacam-macam perkara yang gaib adalah memberi keyakinan kepada kita tentang benarnya teori ketentuan agama itu dan menjadi sebab untuk menundukkan orang-orang yang terpengaruh oleh doktrin kebendaan sehingga mereka mengakui adanya benda-benda gaib yang tidak dapat dicapai dengan pancaindra mereka sendiri, oleh karena itu benarlah orang yang mengatakan bahwa kedudukan akal di dalam Islam itu adalah seperti dua anak yang kembar yang tidak akan dipisahkan atau seperti dua orang kawan yang selalu sama pendapat-pendapatnya dan tidak akan berbantah-bantahan.
Malaikat-malaikat itu menjaga manusia atas perintah Allah, dengan izin Allah dan pemeliharaan-Nya yang sempurna.
Sebagaimana dalam alam kebendaan ada hubungan erat antara sebab dan musabab sesuai dengan hikmahnya, seperti adanya pelupuk mata melindunginya dari kemasukan benda yang merusaknya, maka demikian pula dalam alam kerohanian Allah telah menugaskan beberapa malaikat untuk menjaga manusia dari berbagai kemudaratan. Perbuatan Tuhan selalu tidak luput dari hikmah dan kemaslahatan. Demikian pula Allah swt. telah menugaskan malaikat-malaikat untuk mencatat amal perbuatan manusia. Kita tidak tahu bagaimana cara mencatatnya, kita mengetahui bahwa sesungguhnya Allah sendiri cukup untuk mengetahuinya. Mengapa Dia masih menugaskan malaikat untuk mencatatnya. Mungkin di dalamnya terkandung hikmah ialah supaya manusia lebih tunduk dan akan menerima pahala atau azab yang akan diterimanya nanti di akhirat, karena telah pula disaksikan dan dicatat oleh para malaikat itu, menjaga manusia atas perintah dan izin Allah, tetapi bilamana ada kepastian Allah yang tidak dapat ditolaknya, mereka membiarkan kepastian Allah itu menimpa pula kepada manusia yang dijaganya.
Ali bin Abu Talib menerangkan pula bahwa tidak ada seorang hamba pun melainkan ada malaikat yang menjaganya daripada kejatuhan tembok, atau jatuh ke dalam sumur, atau dimakan binatang buas, tenggelam atau terbakar akan tetapi bilamana datang kepastian dari Allah swt. mereka membiarkan manusia itu ditimpa oleh kepastian itu. Abu Bakar berkata: "Jika manusia melihat seseorang yang lalim dan tidak bertindak terhadapnya, maka mungkin sekali Allah akan menurunkan azab yang mengenai mereka semuanya." Keterangan beliau ini diperkuat dengan firman Allah:
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً
Artinya: Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa kepada orang-orang yang lalim saja di antara kamu. (Q.S. Al-Anfal: 25).
Ibnu Khaldun dalam Mukadimahnya telah mencantumkan sebuah bab dengan judul "kelaliman dapat menghancurkan kemakmuran". Beliau mengemukakan beberapa contoh dalam sejarah sebelum Islam dan sesudahnya bahwa kelaliman itu menghancurkan singgasana umat Islam, telah merendahkan derajatnya, telah menjadi rongrongan dari semua bangsa yang ada di sekelilingnya. Demikian pula umat Islam yang pernah meringkuk beberapa abad lamanya di bawah penjajahan orang barat yang semuanya terjadi atas kebenaran firman Allah:
أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ
Artinya:  Bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.
(Q.S. Al-Anbiya': 105)
Apabila Allah menghendaki keburukan kepada suatu kaum dengan penyakit, kemiskinan atau bermacam-macam cobaan yang lain sebagai akibat dari perbuatan buruk yang mereka kerjakan sendiri, maka tak ada seorang pun yang dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Allah Taala sendiri. Semua berhala-berhala yang disembah selain Allah, sedikit pun tak ada menarik kemanfaatan dan menolak kemudaratan bagi dirinya sendiri apalagi untuk orang lain. Pernah ada seorang Badui, penghuni padang pasir melihat seekor serigala kencing di atas kepala sebuah berhala. Maka spontan bangkit semangat amarahnya, lalu memegang berhala itu dan memecahkannya sampai berkeping-keping seraya berkata: Apakah patut tuhan dikencingi serigala di atas kepalanya? Sungguh hina benar yang dikencingi serigala di atas kepalanya itu."


Share this post :

Posting Komentar

Mengenai Saya

PAPAN PENGUMUMAN

Insya Allah Tahun Ajaran 2015-2016 Yayasan Darul Fikri Nusantara akan mengembangkan kegiatannya dengan rencana mendirikan SMP Islam Darul Fikri Di Bungbulang, TK Islam Safinatul Huda Cikelet, TK Islam Nurul Falah Bungbulang dan TK Darul Fikri Pakenjeng. Semoga Allah menggampangkan dan memberi kekuatan kepada kami demi terwujudnya niat suci kami ini. Amin.
 

Copyright © 2014. YAYASAN DARUL FIKRI NUSANTARA - All Rights Reserved
Creatide by : Abu Syauqi
Pasirlangu Pakenjeng Garut